Tugas kelompok (Diah und Asti) makul Deutsche Geschichte, yang pertama tentang:
JUNGES DEUTSCHLAND DAN BIEDERMEIER (1825-1855)
Setelah Goethe meninggal, kesusastraan Jerman memperlihatkan wajah baru yang hakikatnya jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Walaupun karya-karya sastra zaman Goethe berbeda satu dengan yang lainnya, namun dasar dan alam pikirannya sama. Kesatuan batin inilah yang kemudian hilang dan memunculkan aliran-aliran yang sama sekali berlainan. Yang sama hanyalah suatu sifat negatif yaitu tidak menyukai Romantik.
Dua aliran sastra yang terpenting pada zaman ini, yakni Junges Deutschland dan Biedermeier memiliki sifat yang bertentangan. Jiwa Junges Deutschland sebagian besar bersumber pada keadaan politik zaman itu yakni ketidakpuasan terhadap reaksi di lapangan politik yang menguasai suasana, terutama setelah bebasnya Austria dan Prussia dari kekuasaan Napoleon Bonaparte. Apa yang telah dicapai di zaman Napoleon dalam lapangan hukum dan sosial dianggap tidak ada; warga negara kembali menjadi abdi negara.
Negara menjadi kepolisian dengan sensor dan spionase sebagai alat kekuasaannya. Terhadap kekuasaan negara inilah para sastrawan muda Jerman berjuang untuk memperoleh kebebasan itu. Sastra harus membahas masalah-masalah aktual dalam usaha memperjuangkan hari depan yang lebih baik. Mutu seni sastra mereka memang tidak tinggi oleh karena itu karya mereka cepat dilupakan orang. Namun hal ini tidak berlaku bagi Heinrich Heine, pelopor aliran ini yang sangat masyhur.
Berbeda dengan aliran Junges Deutschland, aliran Biedermeier menjauhkan diri dari kejadian sehari-hari dan segala hal yang bersifat aktual. Banyak nilai-nilai kemanusiaan yang menjiwai zaman Goethe terdapat dalam aliran sastra Biedermeier. Sifat khas Biedermeier adalah menjauhkan diri dari kehidupan politik dengan suasana yang kadang-kadang diliputi kecemasan dan hasrat hidup tertib serta sederhana. Dalam sastra yang beraliran Biedermeier ini terdapat kecenderungan ke arah tenteram dan pribadi yng sering mengakibatkan pengungkapan hal-hal kecil dan tampak tidak ada artinya. Sastrawan-sastrawan aliran ini antara lain adalah Franz Grillparzer, Adalbert Stifter, Eduard Mörike dan juga sastrawati Annette von Droste-Hülshoff. Karya-karya mereka menunjukkan sifat-sifat khas Biedermeier.
Heinrich Heine (1797-1856)
Heinrich Heine dilahirkan sebagai putra keluarga Yahudi di kota Düsseldorf. Seharusnya ia mengikuti jejak ayahnya sebagai saudagar, tetapi ia malah berpaling ke bidang studi sastra dan hukum, serta memulai karya sastranya di bawah pengaruh aliran Romantik. Dengan demikian ia merupakan warisan sekaligus penentang dan penakluk aliran Romantik. Pengaruh Romantik itu tampak dalm kumpulan syairnya yang masyhur, “Buch der Lieder“ (1827), dan terlihat sedikit dalam karyanya “Romanzero“ (1851).
Sejak ditahbiskan, ia menjadi penganut agama Kristen yang sah. Namun demikian kemungkinan untuk menjadi pegawai negara tetap tertutup baginya, karena statusnya sebagai keturunan Yahudi. Karena diperingatkan oleh Materrnich terhadap pengejaran politik, Heine menyingkir ke Prancis dan hidup di kota Paris sampai akhir hayatnya dalam keadaan yang penuh penderitaan lahiriah; bahkan dalam sepuluh tahun terakhir ia tidak dapat meninggalkan tempat tidur karea sakit parah dan tubuhnya hampir lumpuh seluruhnya. Penderitaannya ini disebut sebagai “Matraztzengruft“, yang telah memurnikan jiwanya sebagai manusia dan sebagai sastrawan.
Sebagai sastrawan, ia sangat ulung dalam mengungkapkan perasaan yang bercampur aduk, menyukai perubahan yang tiba-tiba dalam suasana cerita yakni dari suasana halus penuh keharuan beralih ke suasana sarkasme yang pedas, suasana lirik yang lembut tiba-tiba menjadi suasana prosa yang penuh dengan kesadaran lahiriah, misalnya dalam syair “Fragen“. Sikap inilah yang merupakan penaklukan Romantik dan Hime.
Karya-karya di atas merupakan kumpulan syair “Buch der Lieder“ dan “Romanzero“ yang berisi syair indah, baik kata-katanya maupun iramanya, sehingga banyak di antara syair-syair tersebut yang dinadakan, terutama oleh Schumann dan Mendelsshon. Bahkan karyanya yang berjudul “Die Loreley“ telah menjadi nyanyian rakyat.
Heinrich Hoffman on Fallersleben (1798-1874)
Walaupun Fallersleben merupakan salah seorang wakil aliran Junges Deutschland yang tidak sebesar Heine, namun dia adalah pencipta “Deutschland Lied“ (“Deutschland, Deutschland über alles“), yang merupakan lagu kebangsaan Jerman hingga kini. Setelah perang dunia kedua, hanya bait ketiga dari lagu ini yang boleh dinyanyikan. Nadanya digubah oleh Joseph Haydn.
Alasan mengapa hanya bait terakhir yang diperkenankan untuk dinyanyikan ialah karena kalimat di bait satu dan dua yang berbunyi “Deutschland, Deutschland über alles; Über alles auf der Welt“ (Jerman, Jerman di atas segala-galanya di dunia), oleh kaum NAZI di zaman Hitler justru disalahtafsirkan. NAZI menganggap bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan seruan kepada bangsa Jerman untuk menguasai seluruh dunia. Padahal saat syair itu diciptakan Fallersleben, belum ada negara Jerman, belum ada bangsa atau nation Jerman‘ yang ada ialah 39 negara yang penduduknya berbahasa Jerman, negara besar dan kecil, yang saling bertentangan dan berebut kekuasaan, terutama Prussia dan Austria.
Sebenarnya kalimat-kalimat tersebut ditujukan Fallersleben kepada negara-negara yang berbahasa Jerman itu agar mereka bersatu dalam satu negara Jerman karena ketika itu negara-negara tersebut diduduki tentara Napoleon.
Satu negara Jerman yang diharapkan baru terwujud tahun 1871, sebagai hasil usaha Otto von Bismark. Karya Fallersleben yang juga terkenal ialah “Mein Vaterland“ (Trene Liebe bis zum Grabe).
Edward Mörike (1804-1875)
Berbeda dengan Heine, sastrawan dari Schwaben ini merupakan orang terpencil dari kedua aliran terakhir ini. Karyanya merupakan peralihan dari Romantik ke Biedermeier. Syair-syairnya bersifat Romantik, demikian pula perasaannya terhadap alam. Dalam karya Mörike selanjutnya, tampak unsur-unsur Biedermeier, yakni hasrat menyepi dan mengekang diri, mengasingkan diri serta humor yang mengandung arti. Hasrat akan kesederhanaan dan rasa nyaman tampak dalam Idyllen-nya. Walaupun isinya sederhana, banyak di antara syair-syairnya yang menarik dalam hal bentuk. Syair-syair Mörike merupakan mutiara sastra lirik Jerman. Karya lainnya yang juga sangat mengagumkan yaitu novelnya yang berjudul “Mozart auf der Reise nach Prag“.
Franz Grillpazer (1791-1872)
Sastrawan ini dilahirkan dan meninggal di kota Wina. Ia merupakan penerjemah selera hidup Beidermeier dalam bentuk drama. Motif utama dramanya ialah ketenteraman batin yang hanya dapat dicapai dengan hidup tanpa pamrih, sedangkan haus akan kebebasan dan kekuasaan hanya akan membawa malapetaka.
Drama-drama selanjutnya yang menonjol ialah “Die Ahnfrau“, “Sappho“, dan “Die Judin von Toledo“. Kemahirannya yang khas Austria adalah cara ia melukiskan rasa hidup intim dengan suasana kepekaan yang beraneka ragam (“Des Meeres und der Liebe Wellen“; novelnya “Der omze Spielmann“).
Adalbert Stifter (1805-1868)
Adalbert Stifter berasal dari keluarga petani di Bohemia. Sikap hidup Beidermeier yang lebih menonjol daripada dalam drama Grillpazer ialah dalam cerita-ceritanya “Studien“ dan “Bunte Steine“, serta romannya “Der Nachsommer“. Cita-cita hidup Stifter yaitu menjadi manusia yang matang dan murni, yang dapat mengatasi segala nafsunya dan dapat menyesuaikan diri dengan tenang ke dalam keluarga, pekerjaan, negara, dan sebagainya.
Rasa hormat terhadap sesama manusia, lemah lembut, dan penuh kegiatan merupakan kebijakan utama baginya. Hal yang sangat indah dari Stifter adalah cara melukiskan alam sekitar kampung halamannya. Bahasa Stifter sangat tenang dan jelas; sederhana namun agung. Beberapa cerita terindahnya antara lain “Der Hochwald“, “Brigitta“, “Der Hagenstolz“, “Kalkstein“, dan “Bergkristall“.
Yang kedua tentang:
DER VERVALL DES ABSOLUTISMUS UND DIE EINSTEHUNG DES MODERNEN STATES (1700-1800)
Dalam sejarah Eropa, absolutisme memegang peranan yang besar.
Absolutisme memiliki ciri-ciri umum:
- Secara politis
Sikap penguasa: menyatakan diri bebas dan luput dari otoritas lain (di luar kekuasaannya) dan membuat sentralisasi kekuasaan terhadap pihak di dalam kekuasaannya. Raja yang berkuasa menentukan segala-galanya tanpa kritik dan kontrol.
- Secara sosial
Ada kesenjangan dalam kelompok masyarakat. Previlegi terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu membedakan golongan bangsawan, militer, dan rakyat biasa.
Di Inggris absolutisme mengalami kegagalan pada masa pemerintahan Charles I (1625 - 1649). Kekuasaan tersebut mendapatkan perlawanan. The civil war yang dipimpin oleh Oliver Cromwell (1642 - 1649) pada akhirnya meruntuhkan kekuasaan tersebut. Inggris kemudian membentuk parlemen dan menjadi negara Republik yang dipimpin oleh Cromwell dengan gelar Lord Protector. Ambisi Cromwell yang besar pada akhirnya juga mengantarkan Inggris kembali menjadi sebuah negara kerajaan. Namun kekuasaan parlemen yang besar berhasil mencegah tumbuhnya kembali absolutisme. Sepeninggalan Cromwell, parlemen Inggris berhasil memaksa Ratu Mary untuk menandatangani Bill of Rights 1689. Penandatanganan Bill of Right di Inggris merupakan suatu lambang kejayan besar rakyat atas pemerintahan. Bill of Right ditandatangani dalam suasana tanpa perseteruan dan pertumbahan darah, sehingga revolusi tersebut sering juga disebut sebagai Glorious Revolution.
Bill of Right 1689 memuat berbagai jaminan pokok bagi masyarakat Inggris yang dapat diidentikkan sebagai sebuah Piagam Hak Asasi Manusia. Isi pokok dari piagam tersebut adalah: (1) kekuasaan parlemen berada di atas kekuasaan raja; (2) raja harus memberikan jaminan toleransi dalam beragama; (3) raja menjamin kebebasan pers; (4) anggota parlemen dipilih melalui general election; (5) pungutan pajak apapun yang akan dilakukan oleh kerajaan harus atas dasar persetujuan parlemen; (6) tidak ada pengerahan kekuatan militer tanpa persetujuan parlemen.
Tindakan semena-mena raja dan golongan aristokrat di Perancis juga menuai protes dari banyak kalangan. Para pemikir yang sempat mengalamai sendiri Perang Kemerdekaan Amerika (1776) dan Glorious Revolution di Inggris berusaha menggalang kekuatan rakyat melalui protes yang disampaikan dalam pemikiran-pemikirannya. John Locke (1632 - 1704) melancarkan protesnya terhadap absolutisme Perancis dengan mengemukakan ide-ide mengenai hak asasi manusia (hak milik, hak kemerdekaan, dan hak kebebasan); stated rule by law; dan perlunya pemisahan kekuasaan. Montesquieu (1689 - 1755) dalam tulisan berjudul L'esprit des Lois mengemukakan teori Trias Politica sebagai landasan kenegaraan. Jean Jacques Rouseau (1712 - 1778) dalam bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Voltaire (1684 - 1778) memprotes cara hidup para bangsawan yang menindas rakyat jelata dan mengusulkan tentang perlunya pendidikan secara meluas. Ide Voltaire dikembangkan kemudian oleh Diderot dan D'Alembert dengan menerbitkan 35 jilid Ensiklopedia yang dihimpun dari karya-karya Voltaire.
Revolusi Perancis akhirnya terjadi karena rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan pajak yang memberatkan menjadi faktor utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara faktor-faktor yang turut mendorong revolusi tersebut adalah: merosotnya perekonomian Perancis akibat pemborosan kaum bangsawan; tidak adanya kepastian hukum; perbedaan yang menyolok antar golongan dalam masyarakat; Revolusi Amerika; Glorious Revolution (1689) dan pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar seperti John Locke dan kawan-kawan. Meletusnya Revolusi Perancis ditandai dengan diserangnya Penjara Bastile oleh rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli 1789.
Revolusi Perancis memiliki pengaruh besar bagi masyarakat dunia. Semboyan dan asas-asas yang diperjuangkan selama revolusi memberikan sumbangan besar bagi pembentukan Piagam Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948. Meskipun sedikit berbeda dengan Glorious Revolution di Inggris yang menghasilkan Bill of Right. Perancis juga berhasil membentuk pernyataan hak-hak kemanusian melalui Revolusi. Piagam yang disepakati pada tanggal 27 Agustus 1789 tersebut antara lain berisikan pernyataan bahwa: (1) manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak yang sama; (2) hak-hak itu adalah kemerdekaan, hak milik, hak perlindungan diri, dan hak untuk menentang penindasan; (3) rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan.
Revolusi-revolusi tersebutlah yang akhirnya mendorong terbentukknya negara modern di Jerman. Hal ini ditandai oleh terjadinya revolusi di Jerman pada bulan Maret 1848. Persatuan dan kebebasan menjadi tuntutan kelompok warga yang merasa berpihak kepada kemajuan historis. Mereka berniat menjadikan Jerman sebagai negara kebangsaan dan sekaligus negara konstitusional, suatu tujuan yang jauh lebih ambisius daripada tujuan para pemberontak Perancis pada tahun 1789. Sebab orang Perancis telah memiliki negara kebangsaan, biarpun sifatnya masih pramodern, yang ingin mereka tempatkan di atas dasar yang sama sekali baru, yaitu kewargaan.
Sumber:
Meutiawati, Tia dkk. 2007. Mengenal Jerman Melalui Sejarah dan Kesusastraan. Yogyakarta: Narasi
Zettl, Erich. 1976. Deutschland in Geschichte und Gegenwart. München: Max Hueber Verlag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar