1. Wilhelm Dilthey
Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).[42] Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan.[43] Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.[44]
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical Reason.[45]
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.[46]
Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.
2. Martin Heidegger
Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.[48]
Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode. Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti disana-wujud.[49]
Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.[50]
Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.[51]
Heidegger menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang essensial dan terus menerus.[52]
Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.[53]
Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa, karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu sendiri.[54]
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.
3. Hans-Georg Gadamer
Gadamer adalah seorang filsuf terkemuka di bidang Hermeneutika Filosofis. Adapun karangannya yang tersohor di bidang Hermeneutika adalah Truth and Method. [1]
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya, antara lain pada Nikolai Hartmann (1882-1950) dan Martin Heidegger (1887-1976). Ia mengikuti kuliah juga pada Rudolf Bultmann (1884-1976). Sekolah Teolog Protestan yang ternama. Pada tahun 1922 ia meraih gelar “Doktor Filsafat”. Pada tahun 1929 ia menjadi Privatdozent di Marburg hingga menjadi profesor di tempat yang sama. Pada tahun 1939 ia pindah ke Leipzig dan pada tahun 1947 ke Frankfurt am Main. Sejak tahu 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai dengan pensiun.[2]
Bahasa sebagai perantara pengalaman hermeneutik .
Secara etimologis hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein. Hermeneuein berarti “menginterpretasikan”, “menafsirkan”. Kita sudah sering mendengar dan menggunakan kata menginterpretasi atau interpretasi. Kata itu dipakai hampir di semua ruang lingkup hidup. Kata Yunani ini, hermeneuein memuat 3 arah arti , yakni: “menyatakan” atau “mengungkapkan dengan lantang”, ‘meresitir’; menjelaskan” atau menerangkan situasi’; “menerjemahkan” atau ‘mengalihbahasakan ke bahasa asing’. Makna menerjemahkan (mengalih-bahasakan ke bahasa asing) inilah yang dimengerti dewasa ini. Hermeneutik menuntun orang pada pemahaman (understanding) dalam arti luas, hermeneutika adalah sebuah disiplin yang berurusan dengan logos., bukan hanya interpretasi makna tekstual, tetapi juga arti realitas.[3]
Bagi Gadamer, bahasa merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman, pemahaman, maupun pikiran manusia. Karena untuk mengerti sesuatu kita tidak mungkin lepas dari bahasa, begitu juga halnya dengan pengalaman hermeneutik pun tidak lepas dari bahasa. Bagi Gadamer, bahasa merupakan medium pengalaman hermeneutik.[4]
Menurut Gadamer, bahasa yang umum harus dicari dalam setiap pengalaman hermeneutik. Sebab jika para filsuf berbicara dengan menggunakan suatu bahasa yang tidak seorangpun mengerti, ini berarti sama saja mereka tidak berbicara apa-apa (nihil). Dengan ini Gadamer mau menegaskan bahwa persoalan bahasa adalah tugas hemeneut. Pemahaman hanya mungkin dimulai bila bermacam-macam pandangan menemukan satu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap.[5]
Orang yang mampu menjembatani jurang antara dua bahasa, memberi titk terang yang penting. Terjemahan bagaikan interpretasi dan penerjemahnya, seperti juga pada hermeneut, akan menggunakan bahasa untuk menentukan bahasa. Sebagaimana disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan yang fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli (native speaker) tidak akan gagal untuk menangkap nuansa-nuansa bahasanya sendiri. Memang kita akui juga memindahkan konsep dalam bahasa yang satu ke bahasa yang lain bukanlah perkara yang gampang. Kita ambil contoh kata pain (bahasa Inggris). Dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksud dengan kata Pain. Maka dicari istilah dalam bahasa serumpun yang lazim. Untuk itu, kata pain (Inggris) lebih tepat diterjemahkan nyeri (bahasa Sunda).[6]
Perpaduan antara cakrawala mungkin selalu efektif di dalam penerjemahan. Namun Gadamer menegaskan bahwa interpretasi/terjemahan akan tepat bila pembacanya mengalami suatu kehalusan dan irama bahasanya yang teratur. Dengan kata lain terjemahan itu akan indah sekali bila tidak setia pada bahasa aslinya dan bila setia sering terjemahan itu tidak indah lagi. Artinya terjemahan yang baik tidak menurut kata-perkata (letterlet) tetapi disesuaikan dengan lagak ragam bahasa sendiri.
Dalam berbicara, hermeneutik adalah bagaikan terjemahan. Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau dokumen tertulis saja melainkan juga benda-benda yang bukan bahasa seperti patung, komposisi musik, lukisan-lukisan, dsb.
Jadi bahasa sekali adalah medium penting dalam pengalaman hermeneutik. Dalam percakapan misalnya Gadamer menekankan bahwa keseluruhan proses percakapan- berkaitan dengan bahasa. Bahasa adalah pertengahan daerah dalam mana pengertian dan persetujuan mengenai objek, mengambil tempat di antara dua orang yang melakukan percakapan. Gadamer memberi contoh yang kedua ini yakni dalam hal menerjemahkan sebuah percakapan yang dilakukan dalam dua bahasa berbeda (tadi contoh pertama adalah tentang teks). Penerjemah dalam hal ini tentu saja tidak secara bebas mengartikan apa yang person lain katakan. Arti percakapan-itu lagi-lagi harus dipelihara dan juga harus dimengerti dalam sebuah bahasa baru dan dengan cara yang baru . Agar dua orang sungguh saling mengerti dalam percakapan dibutuhkan suatu bahasa (umum) yang oleh keduanya bahasa tersebut dapat dimengerti dalam hal ini bahasa merupakan perantara untuk saling mengerti. Ciri-ciri khas dari setiap percakapan yang benar adalah masing-masing person membuka dirinya sendiri kepada person yang lain.
Dari semua uraian di atas Gadamer mau memperlihatkan – bahwa pemahaman (pengertian) adalah interpretasi dan interpretatasi itu terjadi dengan perantara bahasa. Bahasa sebagai perantara pengalaman hermeneutik berkaitan erat dengan teks yang mau dipahami. Dalam hal ini Gadamer tidak mencari pengarang yang bersembunyi di belakang teks melainkan mencari apa yang terjadi di antara teks dan juru tafsir. Penafsiran teks-teks dapat disebut suatu percakapan dimana bahasa berfungsi sebagai perantara antara teks dan si penafsir.
Bahasa: Bukan Tanda, Bentuk, dan Alat
Secara etimologis kata “bahasa” berasal dari bahasa Latin “Lingua” yang berarti lidah atau bahasa. “Lingua” diartikan sebagai kumpulan kata-kata, arti kata yang standar dengan bentuk ucapan yang digunakan dan sebagai metode komunikasi. Bahasa sebagai kegiatan universal insani untuk membentuk sistem dan tanda-tanda sesuai dengan aturan asumsi yang diterima secara umum.[7]
Hans-Georg Gadamer memberikan sebuah pandangan yang beharga untuk kita pahami tentang bahasa. Konsep bahasa yang dimaksud Gadamer bukan hanya dalam pemahaman saja, tetapi lebih pada bentuk bahasa itu yang biasa kita pakai. Kenyataan tidak pernah berlangsung di belakang panggung bahasa melainkan selalu berada dalam diri bahasa itu sendiri. Oleh Karena itu setiap dialog atau komunikasi yang kita lakukan sehari-hari tergantung pada luasnya pengetahuan kita tentang bahasa.[8]
Menurut Gadamer, sejak dipakainya ide “logos” di dalam pemikiran Yunani, bahasa diperlakukan sebagai teori tanda. Sejak saat itu kata menjadi tanda dari suatu realitas yang telah ditentukan batas-batasnya sesuai dengan hakekat sebagai tanda, kata berfugsi untuk diterapkan kepada suatu hal. Karena kata sebagai tanda dan tanda tersebut siap dipakai, maka kata terserah atau diserahkan kepada pemakai kata (tanda) tersebut. Dengan demikian bahasa menjelma sebagai alat subjek semata yang terpisah dari realitas yang dipikirkan. Konsekuensi dari bahasa menjadi tanda adalah bahwa kata berasal dari manusia dan kata berada di bawah manusia. Bagi Gadamer hal itu kurang tepat. Karena kata itu sendiri adalah milik realitas. Realitas sendirilah yang mengungkapkan diri dalam kata-kata. Konsepsi yang mengatakan bahwa kita menciptakan kata dan kemudian memberinya arti: menurut Gadamer konsep itu tidak benar, karena kata bukan hasil pemikiran refleksi. Pada setiap pengalaman, kita tidak mencari suatu kata untuk menujukkkan objek yang sudah dialami. Kalau kita mencari kata yang tepat tidak berarti bahwa kita mencari tanda untuk objek yang sudah hadir.[9]
Bahasa merupakan keseluruhan sistematis yang terdiri dari unsur-unsur yang masing-masing mempunyai fungsinya sendiri. Bahasa itu bukan substansi, melainkan bentuk saja. Maksudnya bahwa dari mana bahasa itu ada tidak mempunyai peranan. Yang terpenting dalam bahasa adalah aturan-aturan yang mengkonstitusinya. Gadamer mengatakan bahwa bahasa itu bukanlah bentuk melainkan yang dikatakan itulah yang merupakan pokok masalah.
Bahasa lebih daripada suatu sistem tanda-tanda saja. Pandangan ini bertitik tolak dari adanya kata-kata yang memandang objek-objek sebagai suatu yang kita kenal lewat sumber lain. Antara kata dan benda terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan melekat pada benda. Demikian bahasa bagi pemikiran Gadamer membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[10]
Bahasa sebagai alat yang tumbuh dengan menghasilkan perkembangan pemikiran sehingga pengaruhnya memiliki struktur dan pemikiran yang jelas. Menurut Gadamer banyak problem tentang bahasa tidak terpecahkan. Bagi Gadamer bahasa adalah alat komunikasi dalam pergaulan manusia. Tetapi hal itu bukanlah makna tedalam dari bahasa itu sendiri. Bila bahasa dipandang sebagai alat saja, berarti suatu saat bahasa dapat ditinggalkan atau dibuang apabila tidak diperlukan. Namun tidak demikian halnya. Pengalaman kita tidak mulai tanpa kata-kata. Antara kedua hal ini memiliki kaitan yang erat. Gadamer menekankan bahwa pemikiran dan pengalaman bersifat kebahasaan. Oleh karena itu, Gadamer menyebut bahasa sebagai perantara bukan alat, tanda, dan bukan bentuk.
Dari uraian di atas, Gadamer mau menekankan bahwa bahasa merupakan realitas yang tidak terpisakan dari pengalaman, pemahaman, dan pemikiran manusia sendiri. Dengan demikian bahasa adalah perantara pengalaman nyata. Sehingga konsekuensi positifnya bahwa bahasa merupakan bagian dari filsafat yang paling sulit dan paling banyak menimbulkan tanda tanya.
Namun dalam sesi ini kiranya perlu menyampaikan kritik negatif dari Habermus. Ada satu hal yang kurang disetujui oleh Habermus atas pandangan Gadamer, yakni yang berkaitan dengan pokok yang membicarakan bahasa bukan tanda. Bahasa menurut Gadamer adalah milik realitas. Realitas sendiri yang mengatakan, membahasa, dan mengungkapkan diri terhadap manusia. Bila bahasa dipandang sebagai tanda, maka sesuai dengan hakekatnya fungsi kata diterapkan pada suatu hal. Dengan demikian bahasa adalah alat subjek semata yang terpisah dari realitas. Konsekuensinya adalah bahwa kata berasal dari manusia, tidak lagi dari realitas dan kata berada di bawah kuasa manusia.
Kritik lain yang dikemukakan oleh Habermus adalah mengenai penilaian atas otoritas dan tradisi. Beliau mengatakan bahwa otoritas hanya sama dengan menindas realitas (kebenaran).[11]
Relevansi
Kita memahami bahasa sebagai alat komunikasi atau suatu sistem tanda atau lambang bunyi. Pengertian ini tidak sejalan dengan pemikiran Gadamer mengenai bahasa. Ia melihat bahasa dari dua sisi yakni: bahasa sebagai perantara pengalaman Hermeneutika dan bahasa bukan sekedar tanda, bentuk,dan alat.
Bagi Gadamer bahasa dan pemikiran adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tetapi bahasa tidak terutama mengungkapkan pemikiran, melainkan bahasa adalah objek itu sendiri. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa obejek yang kita lihat menyatakan dirinya kepada kita secara penuh. Maka tejadi komunikasi antara kita dengan objek yang tampak.
Pemikiran Gadamer mengenai bahasa ini sangat actual untuk digunakan pada zaman ini. Kita sekarang hanya mengerti bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dan untuk mengungkapkan pikiran. Jkita tidak pernah tahu bahwa bahasa adalah suatu relitasa yang tidak terpisahkan dari pengalaman, pemahaman, maupun pemikiran manusia. Dengan kata lain realitas sendirilah yang mengungkapkan diri dalam kata-kata.
Bahasa sebagai pegalaman Hermeneutika. Dalam hal ini, Gadamer menunjukkan bahwa bahasa merupakan perantara interpretasi kita atas pengalaman. Maka sebenarnya sadar atau tidak sekarang ini kita telah menerapkan fungsi bahasa sebagai pengalaman Hermeneutika dalam hidup harian kita. karena pengalaman yang kita peroleh kita mengertoi sebagai pengalaman. Dan untuk mengerti pengalaman itu kita harus menggunakan bahasa, sebab tidak mungkin kita dapat mengerti sesuatu tanpa bahasa. Bahasa di sini berfungsi sebagai perantara antara kita dengan objek yang akan kita pahami.
Di sisi lain Gadamer melihat bahwa bahasa bukan tanda, bentuk, dan alat. Jika bahasa hanya dipandang sebagai tanda, maka bahasa itu hanya sebagai alat subjek yang tepisah dari realitas. Padahal seharusnya bahasa bukan berasal dari objek tetapi dari objek. Jika bahasa berasal dari subjek maka kita tidak dapat sungguh-sungguh mengerti apa yang kita alami. Tetapi bahasa yang berasal dari objek menunjukkan bahwa objek itu sendirilah yang menyatakan dirinya kepad akita secara penuh dan kita mengerti tentang objek itu dengan bahasa.
Sebagaimana pandangan Gadamer bahwa bahasa merupakan reaitas demikian pula halnya yang terjadi dalam kehidupan kita. kita seringkali tidak menyadari bahwa apa yang kita katakana sebenarnya bukan berasal dari diri kita melainkan dari realitas yang kita alami. Karena jika kita melihat sesuatu dan kita mengatakan tentang sesuatu itu, maka konsep yang kita katakan itu bukan datang dari apa yang kita pikirkan tentaang sesuatu itu, melainkan datang dari sesuatu yang kita lihat. Jadi objek yang mengatakan tentang dirinya kepada kita dan kita mengungkapkannya dengan bahasa kita. maka bahasa adalah realitas dan milik realitas itu sendiri, dan bagi kita bahasa adalah perantara pengalaman nyata supaya kita dapat memahami apa yang kita alami.
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan.
Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.
Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran[1]
Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan mendapatkan kesan bahwa ia senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru. Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru.
Berdasarkan penelitian Jean Grodin, hermeneutika, yakni proses untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process). Untuk memahami berarti untuk menyentuhnya dengan akal budi. Untuk memahami berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk memahami berarti untuk menggabungkan pengertian yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih luas. Untuk memahami sesuatu berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau memahami teks.
Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya menjadi argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang filsuf ilmu-ilmu sosial yang hidup pada abad ke-19. Di dalam proses memahami realitas sosial, setiap bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai pengalaman hidup (life experience). Pengalaman hidup tersebut dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah dengan penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam, karena tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi yang untuk mengeksploitasi dan memprediksi fenomena alamiah. Konsep pengertian sendiri memang sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teks-teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.
Pengertian sebagai Kegiatan Praktis
Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu mengandaikan mampu menerapkan.
Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya, Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu.
Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisan-tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini, penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya.[2]
Pengertian sebagai Kesepakatan
Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju. Di dalam bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapa dijadikan contoh, “we understand each other”. Kata understand bisa berarti mengerti atau memahami, dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan, namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika orang mengerti. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian dari persetujuan. Yang pertama bagi Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding) tentang makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar.
Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu disebutnya sebagai sache, atau subyek yang menjadi tema pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud asli si penulis teks. Di dalam hermeneutika tradisional, tujuan utamanya adalah membangkitkan maksud asli pengarang. Namun di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang menjadi tema utama pembicaraan. Dan tema utama pembicaraan (subject matter) itu dapat terus berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa pengertian dasar yang sama dengan pengarang. Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan maksud asli dari penulis teks.[3]
Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan bahasa. Bagi Gadamer elemen bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience) hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah penting.
Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa. Misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik. Tidak hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata. Di dalam bukunya yang berjudul The Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam rumusan yang tidak dinamis.
Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi sebentuk bahasa yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.
Konsep Lingkaran Hermeneutis[4]
Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. Seperti sudah sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. Tentu saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk menafsirkan guna memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin.
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.[5]
Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi.
Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer tetap mengandung unsur logika yang tinggi. Tidak hanya itu proses untuk memahami keseluruhan melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang harus terus menerus dicari, dan bukan sesuatu yang sudah ditemukan lalu setelah itu proses selesai. Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan mendasar dari Heidegger. Obyek penelitian hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia secara keseluruhan. Sementara obyek penelitian Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya Heidegger adalah gaya eksistensialisme. Sementara Gadamer lebih berperan sebagai seorang filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta kompleksitas yang ada di dalamnya.
Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut.
Di sisi lain seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus dari proses penafsiran (hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi manusia. Sementara fokus dari hermeneutika Gadamer adalah teks literatur dalam arti sesungguhnya.[6] Dalam arti ini fokus dari hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia yang otentik, yakni membantu menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai pemahaman adalah prasangka. Prasangka membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat, yang biasanya negatif, dan menutup mata mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi manusia, maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks.
Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun Gadamer dan Heidegger setidaknya identik dalam satu hal, yakni bahwa proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan, bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Dan dengan itu ia membantu kita memahami apa artinya menjadi manusia dengan berdasarkan pada historisitas kehidupan itu sendiri.
Sumber :
1 komentar:
thank ya atas share ilmunya.
Posting Komentar