Sel induk (stem cell) kini digunakan untuk pengobatan penyakit degeneratif, yang prinsip kerjanya meregenerasi sel-sel yang terdegenerasi.
Sebagian besar peneli¬tian yang dilakukan untuk menemukan te¬rapi terbaik penyem¬buhan penyakit dege¬neratif dewasa ini mengarah pa¬da penggunaan sel induk (stem cell). Pemanfaatan sel induk ini disebut terapi regeneratif, kare¬na pengobatan macam ini punya sifat menyelamatkan manusia dari kematian akibat suatu pe¬nyakit degeneratif, semisal dia¬betes, alzheimer dan jantung. Pengobatan regeneratif membantu proses penyembuhan ala¬mi lebih cepat. Bisa juga dengan menggunakan materi tertentu yang bermanfaat dalam menum¬buhkan kembali jaringan yang hilang atau rusak akibat penya¬kit degeneratif.
Karena sifat penyembuhan¬nya bisa mencegah kematian se¬seorang akibat penyakit degene¬ratif yang disebabkan faktor usia, maka pengobatan regene¬ratif disebut sebagai terapi per¬panjangan usia. Hasilnya berupa perbaikan beberapa kerusakan organ akibat bertambahnya usia. Begitu juga dengan sel induk yang kemudian jadi penemuan mutakhir dalam menambah pe¬riode usia sehat seseorang. Ba¬gaimana pun, benar apa yang dikatakan Prof Dr dr A Harryanto Reksodiputro, SpPD, KHOM, bahwa sel induk bukanlah usaha membawa manusia menuju ke¬abadian.
Penyakit degereneratif biasa¬nya hadir pada usia yang sema¬kin bertambah, merusak banyak sekali bagian tubuh, termasuk sel induknya. Maka itu, sebelum mampu menemukan akar per¬masalahan akibat degenerasi terkait usia, beberapa dokter melakukan penelitian guna mencari cara meregenerasi setiap bagian tubuh manusia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam situs Depkes, hampir 17 juta orang meninggal lebih awal tiap tahunnya sebagai akibat epi¬demi global penyakit degeneratif.
Sejak 2002, menurut situs longevitymeme.org, pengobatan regeneratif banyak mendemon¬strasikan penggunaan sel induk sebagai titik awal penyembuhan pasien. Bahkan, sel induk ba¬nyak menyelamatkan ancaman kematian akibat penyakit jan¬tung di Jepang, Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Jerman. Sel induk adalah sel yang belum berdiferensiasi dan berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi sel lain. Kemampuan ajaib itulah yang memungkinkan sel induk menjadi sistem perbaikan tu¬buh, yaitu dengan menyediakan sel baru yang sehat selama orga¬nisme bersangkutan hidup.
“Stem cell adalah sel yang dapat terus tumbuh dan bisa menjadi sel tipe apa pun dalam tubuh manusia,” kata Prof Har¬ryanto pada awal presentasinya dalam seminar Stem Cell dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-58 Universitas Indonesia Tingkat Fakultas Kedokteran beberapa waktu lalu.
Sel induk sering disebut-se¬but dalam terapi penyembuhan leukemia, meski ternyata tidak sesignifikan yang diperkirakan. “Penggunaan stem cell untuk penyembuhan leukimia sangat rendah. Di Amerika saja hanya setengah persen kemungkinan seseorang itu memerlukan stem cell untuk pengobatan leukemia. Karena, angka penderitanya me¬mang rendah. Sekarang, yang banyak adalah pengobatan stem cell pada penyakit degeneratif seperti jantung, stroke, dan dia¬betes,” katanya.
Menurut Prof Harryanto, ke¬tiga penyakit tersebut menjadi sasaran pengobatan sel induk yang utama karena paling sesu¬ai. “Pelaksanaannya mudah. Stem cell dan sum-sum tulang (bone marrow) ataupun stem cell tali pusat atau pusar (Umbilical Cord Blood = UCB) semuanya berasal dari darah dan pembu¬luh darah. Diabetes juga masa¬lahnya dengan darah dan pem¬buluh darah, jadi sel-selnya sa¬ma. Bisa dikatakan kerjanya juga relatif mudah untuk memasuk¬kan stem cell-nya. Pasien diabe¬tes tinggal diberi suntikan saja. Kalau otak juga tinggal dikateter¬isasi. Meski kemudian perbaik¬annya belum tentu juga terjadi. Karena mungkin dia betul-betul berubah jadi sel otak atau dia ha¬nya berproliferasi. Tapi, peneli¬tian terakhir mengatakan kedua¬nya terjadi,” kata Harryanto.
Meski diungkapkan oleh seo¬rang ahli dengan bahasa yang sederhana, sesungguhnya pro¬ses penyembuhan penyakit de¬generatif tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada ketentuan ten¬tentu yang mesti dikondisikan agar tidak ada reaksi penolakan dari tubuh penerima sel unduk. Sama saja dengan tindakan transplantasi yang membutuh¬kan kecocokan antara pendonor dan penenima. Kecocokan ini dil¬ihat sebagai surface antigen yang lebih dikenal dengan sebutan Human Leukocyte Antigen (HLA).
“Kalau diambil dari sum-sum tulang, maka HLA-nya harus se¬suai. Tapi, kalau diambil dari UCB, sifat antigeniknya ringan. Nah, kalau yang embrionik kan dari sel induk embrio, barangkali lebih ti¬dak memberi reaksi. Artinya, tia¬da penolakan sama sekali karena betul-betul masih kosong,” kata¬nya menjelaskan hambatan tek¬nis transplantasi sel induk.
Melihat kelebihan sel induk embrionik ini, terlihat pula potensi sel induk ini dibandingkan dengan sel induk dewasa (yang diambil dari sum-sum tulang atau tali pusat). Namun, masa¬lah etik terkait pengembangan penelitian sel unduk embrionik ini juga sangat kontroversial. Inilah sebab kenapa banyak ne¬gara lebih mengutamakan pene¬litian pemanfaatan sel induk de¬wasa pada berbagai penyakit de¬generatif, sehingga tidak diha¬dapkan pada masalah dan kon¬troversi etika.
Boenjamin Setiawan, Presi¬den Komisaris PT Kalbe Farma Tbk, dalam tulisannya “Aplikasi Terapeutik Sel Induk Embrionik pada Berbagai Penyakit Degene¬ratif” di situs Kalbe menuliskan, pilihan akhirnya jatuh pada sel induk tali pusat karena mudah didapat dan diperbanyak. Lalu immunogenicity-nya pun rendah dan plastisitasnya cukup baik.
Asal-usul Sel Induk
Penelitian stem cell (sel induk) untuk medis mulai dila¬kukan dan berkembang pada 1960-an setelah dilakukannya penelitian oleh ilmuwan Kana¬da, Ernest A McCulloch dan Ja¬mes E Till. Sel induk meskipun sudah dikatakan bersifat da¬pat berdiferensiasi dan berproliferasi, namun memiliki jenisnya masing-masing. Sel induk embrionik, misalnya, be¬rsifat totipoten atau memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis sel. Lalu ada juga sel induk pluripoten, multipoten, dan unipoten yang hanya dapat menghasil¬kan satu jenis sel tertentu. Ta¬pi, jenis yang terakhir ini memiliki kemampuan memperbarui diri yang tidak dimiliki sel selain sel induk.
Bicara tentang dua macam stem cell, embrionik dan dewa¬sa, tentu harus diketahui pula secara jelas asal muasal kedua¬nya. Sel induk embrionik diam¬bil dari embrio pada fase blasto¬sis (5-7 hari setelah pembuahan) yang terdiri atas 100 sel. Sel in¬duk ini, seperti ditulis Boenja¬min Setiawan dalam Aplikasi Te¬rapeutik Sel Stem Embrionik pa¬da Berbagai Penyakit Degene¬ratif di situs Kalbe, mempunyal sifat dapat berkembang biak se¬cara terus-menerus dalam me¬dia kultur optimal dan pada ke¬adaan tertentu dapat diarahkan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai sel yang terdiferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, sel saraf, dan sel hati.
Sel induk dewasa (adult stem cells) adalah sel induk yang terdapat di semua organ tubuh, terutama di dalam sum-sum tulang dan berfungsi mela¬kukan regenerasi untuk meng¬atasi berbagai kerusakan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Tubuh kita mengalami pengrusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang meng¬akibatkan nekrosis (kematian jaringan dan sel) akan dibersih¬kan oleh sel makrofag yang ber¬edar dalam darah.
Sel induk dewasa sebaliknya berfungsi memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan. Sel induk dewasa dapat diambil dari fetus (fetal stem cells), sum-sum tulang (bone marrow stem cells), dan menyusul kemudian penemuan sel induk yang bisa diambil dari darah perifer atau tali pusat (umbilical cord blood stem cells = UCB).
Pada tahun 1970-an, menurut Wikipedia, para peneliti menemukan darah tali pusat manusia mengandung sel induk yang sama dengan sel induk yang ditemukan dalam sum-sum tulang. Darah tali pusat mengandung sejumlah sel in¬duk yang memiliki keunggulan melebihi sel induk sum-sum tu¬lang, di mana transplantasi sum-sum tulang memerlukan kecocokan HLA 6/6 atau paling tidak 5/6. Risiko lainnya adalah timbulnya penyakit GvHD, sum-sum tulang yang baru menghasilkan sel aktif yang secara imunologi menyerang sel-sel resipien. Risiko kontami¬nasi virusnya juga lebih tinggi.
Transplantasi sel induk da¬rah tali pusat pertama kali dila¬kukan di Prancis pada penderita anemia Fanconi tahun 1988. Pada tahun 1991, darah tali pusat ditransplantasikan pada penderita Chronic Myelogenous Leukemia. Kedua transplantasi ini berhasil dengan baik. Sampai saat ini telah dilakukan ki¬ra-kira 3.000 transplantasi da¬rah tali pusat.
Tak heran darah dari tali pusat (plasenta) ini kemudian disimpan untuk digunakan pa¬da masa depan bila diperlukan. Bahkan, Korea, Thailand, dan Singapura sudah menyediakan fasilitas penyimpanan darah tali pusar. Salah satu bank pe¬nyimpanan tali pusar bayi baru lahir adalah Cordlife, Si¬ngapura. Penyimpanan ini dike¬nakan biaya 2.000 dollar Singa¬pura dan setiap tahunnya ha¬rus membayar biaya perawatan 200 dollar Singapura. Di Indonesia pun kini sudah ada Cordlife Indonesia.
----------------------------------------
Glosari
Antigen
Setiap zat yang bisa merangsang suatu respons kekebalan. Atau sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam pro¬duksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya, termasuk molekul kecil (hapten) dipasangkan ke protein-pembawa. Antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
Imunogenisitas
Kemampuan memberi rangsangan pada molekulnya yang dise¬but determinan antigenik. Antigen yang memiliki kemampuan meng¬adakan reaksi spesifik dengan zat anti disebut imunogen.
Human Leukocyte Antigen (HLA)
Semua sel memiliki molekul pada permukaannya, yang khas untuk setiap individu. Molekul ini disebut molekul kompleks histokom¬patibilitas mayor (disebut juga Human Leukocyte Antigens atau HLA). Yaitu kelompok protein dalam sel sum-sum tulang belakang yang dapat memprovokasi sistem imun agar merespons. Melalui molekul ini, tubuh dapat membedakan mana yang merupakan benda asing, mana yang bukan benda asing. Ada dua jenis HLA, yaitu HLA yang ditemukan di semua sel tubuh, kecuali sel darah merah dan HLA yang hanya ditemukan pada permukaan makrofag serta limfosit T dan limfosit B yang telah dirangsang oleh suatu antigen.
Graft versus Host Disease (GvHD)
Komplikasi yang terjadi ketika sel yang baru (the graft) bereak¬si terhadap tubuh pasien (the host). Dalam transplantasi sel induk, kalau donor dan penerimanya tidak cocok dengan sempurna, GvHD akan diawali dengan reaksi penolakan terhadap sel induk karena ter¬dapat benda asing dalam tubuh.
(JURNAL NASIONAL, 29 Januari 2008/ humasristek)
sumber : http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=2455
Tidak ada komentar:
Posting Komentar