Selasa, 13 Mei 2008

Tugas esai makul Bahasa Indonesia

Kecurangan Pihak Sekolah Pada Pelaksanaan Ujian Nasional
Setiap tahunnya, dunia pendidikan Indonesia selalu mengadakan pesta rutin yang menandai berakhirnya proses pembelajaran di semua tingkat pendidikan. Pesta rutin tersebut dinamakan Ujian Nasional (UN). Dibandingkan tahuntahun sebelumnya, UN kali ini mengalami beberapa perubahan baru. Pertama, penambahan jumlah mata pelajaran yang diujikan untuk tingkat SMA/SMK/MA dan SMP/ Mts/SMPLB, yang tadinya 3 menjadi 6 mata pelajaran. Kedua, kenaikan batas nilai rata-rata untuk seluruh mata pelajaran, dari 5,00 menjadi 5,25. Kedua perubahan ini member pengaruh besar terhadap pelaksanaan UN tahunini. Jika dengan 3 mata pelajaran dengan nilai rata-rata 5,00 saja seluruh warga sekolah sudah dibuat tegang, apalagi dengan penambahan jumlah mata pelajaran yang diujikan dan kenaikan rata-rata yang terjadi sekarang. Dapat dibayangkan bagaimana ketegangan ini makin memuncak. Hal ini juga lah yang menjadi factor pendukung terjadinya kecurangan –kecurangan dari pihak sekolah pada pelaksanaan UN.
Keinginan untuk membantu siswa-siswanya agar berhasil lulus menempuh ujian itu dilakukkan oleh berbagai pihak dan dengan berbagai cara. Paulus Mujiran, seorang pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang, dalam harian Wawasan, edisi Kamis, 29 November 2007, pernah menganalisis hal tersebut. Menurut beliau, alas an pertama, bila siswa tidak lulus, nasibnya akan jauh lebih sulit seperti harus mengikuti ujian penyetaraan yang semua orang tahu imejnya sama dengan drop out. Kedua, kecurangan terjadi karena sebagian guru berpikir pelaksanaan UN merupakan ajang mencari mukan dengan kepala sekolah atau kepala dinas. Selain kedua hal tersebut, menurut beliau masih ada lagi alas an bagi warga sekolah untuk meluluskan 100% siswanya dalam UN sekalipun harus berbuat curang, yaitu iming-iming yang diberikan pemerintah dalam Permendiknas No. 34 Tahun 2007. Pada pasal 3, Ayat d, pemerintah menyatakan akan menjadikan hasil UN sebagai salah satu pertimbangan untuk “Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan”. Selain itu, sekolah pastinya kan merasa malu jika benyak peserta didiknya yang tidak lulus UN. Orang tua juga akan merasa malu jika anaknya tidak lulus ujian. Dan si anak sendiri akan merasa rendah diri kepada teman-temannya jika tidak lulus UN. Kehadiran tim pemantau independen yang berasal dari perguruan tinggi pun tidak dapat berbuat banyak. Banyaknya celah untuk melakukan kecurangan membuat sulit untuk mengawasi pelaksanaan UN. Sedangkan menurut Lodi Paat, Koordinator Kualisi Pendidikan, kecurangan bisa terjadi karena daerah dah sekolah ingin dipuji . Seorang kepala daerah tentunya tidak mengharapkan sekolah di daerahnya memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Lantas kepala daerah pun melakukan penekanan terhadap kepala dinas. Sedangkan kepala dinas melanjutkan pesan kepala daerah kepada kepala sekolah dan akhirnya kepala sekolah menekan para guru.
Kecurangan-kecurangan yang dilakukan pihak sekolah pada pelaksanaan UN memiliki beberapa scenario, mekanisme, dan modus. Diantaranya sebagai berikut :
1. Pengutilan soal UN dari amplop pada pagi hari sebelum UN berlangsung, yaitu saat pengambilan paket soal dari pos penyimpanan untuk dibawa ke sekolah penyelenggara UN. Setelah, difotokopi, soal tersebut dikembalikan lagi ke dalam amplop dengan memperbaiki segel serapi mungkin.
2. Mengambil soal UN dari ruang ujian yang jumlah siswanya kurang dari jumlah soal yang tersedia. Kurangnya jumlah siswa tersebut bias anya karena siswa yang bersangkutan sudah berhenti sedangkan namanya masih terdaftar sebagai peserta UN.
3. Soal-soal UN yang sudah disiapkan oleh pihak sekolah di ruang tertentu. Ruang tempat menjawab ini biasanya dijaga ketat dan terlihat adanya kesibukan yang luar biasa.
4. Kunci jawaban soal ujian disalin dan didistribusikan dengan cara :
Ø Dibagi dalam potongan kecil dan diserahkan kepada siswa pada saat guru yang bertugas sebagai panitia ujian sekolah penyelenggara membawa daftar hadir untuk pengawas di ruang ujian.
Ø Disebarkan melalui SMS yang dikirimkan kepada siswa –siswa yang pada umumnya membawa dua buah handphone karena salah satunya diwajibkan diserahkan pada pengawas ujian.
Ø Menempelkan kinci jawaban soal UN di wc siswa di sekolah dan member kesempatan kepada siswa untuk bergiliran menggunakan wc tersebut.
Ø Menuliskan kunci jawaban di papan tulis di ruang ujian setelah berhasil bekerjasama dengan pengawas ujian agar membiarkan dan keluar ruangan seakan tidak mengetahui.
5. Mengubah jawaban siswa pada lembar jawaban yang telah ditetapkan dengan target hanya sebatas nilai aman untuk lulus \. Hal ini bias terjadi bila perekatan amplop lembar jawaban tidak dilakukan di ruang ujian tetapi diserahkan kepada panitia sekolah penyelenggara UN. Cara ini terbilang sangat rapi karena siswa tidak mengetahui, apakah mereka diberikan jawaban atau tidak. Metode ini jiga sangat lama dikerjakan, Karena setiap LJK dari siswa diamati secara satu persatu.
Bila kecurangan ini terus terjadi maka dampaknya akan berimbas pada mutu pendidikan dan kelulusan generasi sekolah yang bersangkutan. Siswa yang terbantu melalui kecurangan tersebut tentunya lulus dengan tidak bisa apa-apa, artinya ilmu yang ia jawab tidak sempat dipahami, semua yang dipelajarinya selama hampir 6 tahun atau 3 tahun menjadi sesuatu yang sia-sia karena tidak teruji dengan jujur. Secara tidak langsung, kemampuan siswa tidak akan terpakai. Siswa akan menjadi individu yang malas, malas bekerja keras karena merasa dirinya akan dibantu oleh oknum yang menyalahgunakan soal UN tersebut.
Sedangkan sanksi bagi pihak yang melakukan kecurangan UN juga sudah termaktub dalam Permendiknas No. 34 Tahun 2007. Pasal 17 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Sementara itu untuk siswa, Ayat 3 menyebutkan bahwa “Peserta didik yang terbukti melakukan kecurangan dalam mengerjakan soal UN dinyatakan gagal dalam UN oleh satuan pendidikan penyelenggara UN, duta besar RI, bupati/walikota, gubernur, Kepala BSNP, atau Menteri.”
Dari sekian banyak pihak sekolah yang melakukan kecurangan pada pelaksanaan UN, masih ada sekelompok guru yang tetap teguh pada prinsip kejujuran, salah satunya adalah Komunitas Air Mata Guru. Suatu kelompok guru yang telah berani mengikuti hati nuraninya sebagai seorang pendidik, untuk melaporkan berbagai macam tindakan kecurangan dalam pelaksanaan UN pada sekolah mereka di Medan dan daerah sekitarnya. Tapi perlakuan apa yang diterima mereka, mereka malah diintimidasi secara fisik maupun mental, dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya, hingga diberhentikan. Bukannya melindungi, Depdiknas pun ikut menyudutkan mereka. Padahal dalam Undang-undang No.14 tentang Guru dan Dosen bahwa dalam tugas keprofesionalannya berhak mendapatkan perlindungan atau rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugasnya.
Pemerintah, melalui Depdiknas sebenarnya sudah membuat perangkat pengaman bagi pelaksanaan UN, yaitu Permendiknas No.34 Tahun 2007. Dalam Sembilan ayat di pasal 11 telah dinyatakan secara jelas siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan UN (termasuk jika ada tindakan kecurangan). Ada 7 pihak yang disebutkan dalam pasal11 yang harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan UN, sejak persiapan, pelaksanaan, sampai pelaporan. Ketujuh pihak tersebut adalah menteri, BNSP, gubernur, perguruan tinggi, bupati/walikota, sekolah/madrasah, dan Duta Besar RI (khusus untuk sekolah Indonesia di luar negeri). Dari ketujuh pihak tersebut, secara tegas disebutkan bahwa bupati/walikota adalah pihak yang harus menjamin kejujuran pelaksanaan UN (Ayat 7 g). Sementara itu, gubernur hanya sebatas menjamin keamanan, kejujuran, dan kerahasiaan pemindahan lembar jawaban UN (Ayat 3 i). Mengingat Dinas Pendidikan (Disdik) adalah kepanjangan tangan dari bupati/walikota, maka seharusnya Disdik juga ikut menjamin kejujuran pelaksanaan UN. Tanggung jawab ini juga mestinya disanggupi oleh para kepala sekolah dan guru-guru selaku pihak yang menjadi subkoordinasi di bawah Disdik.
Menghapus kecurangan yang sudah menjamur beberapa tahun terakhir ini juga bukanlah hal yang mudah, mengingat pihak yang terkait serta modus kecurangannya. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kembali keamanan serta kerahasiaan soal dan kunci jawaban UN. Kecurangan –kecurangan tersebut hanya dapat diminimalisir dengan memberikan pengamanan yang super ketat selama persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan UN.
Sebenarnya, bila kita cermati, kecurangan yang selama ini terjadi disebabkan belum memahaminya makna pendidikan. Sebagian besar dari kita menganggap bahwa kegagalan adalah sebuah vonis, siswa yang tidak lulus dianggap bodoh dan tidak memiliki potensi. Kekeliruan inilah yang mentebabken kita takut terhadap kegagalan. Padah kesuksesan itu berawal dari kegagalan. Seorang ilmuan seperti Thomas Alfa Edison saja harus mengalami ratusan kegagalan sebelum akhirnya dapat menciptakan sebuah bola lampu pijar. Selain itu, penyelenggaraan UN pun harus dikoreksi dan pemerintah tidak perlu merasa kalah jika penyelenggaraan UN dengan model seperti saat ini dikoreksi Cita-cita Indonesia adalah mencerdaskan bangsa. Namun cara yang boleh ditempuh adalah cara-cara yang cerdas dan mendidik. Selain itu, mengenai mutu pendidik. Pendidik memang harus membantu gpeserta didiknya, namun dalam arti menolong dalam penguasaan ilmu pengetahuan, mengenal jati diri, dan merangsang kecerdasannya. Hal tersebut juga harus dilaksanakan pada waktu dan ruang yang tepat.Bagaimanapun, membiarkan, mengajak, melakukan ataupun memerintahkan kecurangan dalam pelaksanaan UN sama saja dengan menggali kubur bagi dunia pendidikan. Karena jika kita terlibat dalam berbagai bentuk kecurangan tersebut, itu artinya kita telah memberikan teladan buruk kepada generasi penerus bangsa ini. Mustahil sebuah corong teko akan mengeluarkan air yang bersih dan jernih jika air yang dimasukkan ke dadalamnya kotor dan tercemar. Selain itu, tugas kita semua lah mengawasi pelaksanaan Un, karena semua itu juga demi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar: