Rabu, 30 Januari 2008

Darah Tali Pusar, Obat Masa Depan!


Kita mengenal ritual penguburan tali pusar dan ari-ari (plasenta) yang mengiringi lahirnya bayi. Ketika tali pusar yang melekat pada bayi lepas (puput), juga dilakukan upacara yang bermakna harapan keselamatan baginya.
Keselamatan itu pula yang dijamin oleh darah tali pusar, yang disimpan dengan teknologi kedokteran terkini.

Joshua Song dan keluarganya tak pernah menyangka bahwa ia bisa sembuh dari ancaman penyakit yang sangat merisaukan karena selama ini dikira tak tersembuhkan. Selama ini, sebulan sekali ia harus menjalani transfusi darah akibat penyakit talasemia.

Selamat dari keganasan penyakit kini memang bukan mimpi. Darah tali pusar ternyata potensial sebagal obat masa depan. Ia mampu menyelamatkan jiwa manusia dari serangan berbagai penyakit kelainan genetik maupun penyakit ganas, seperti kanker, leukemia, talasemia, dan sebagainya.

Joshua yang berasal dari Singapura itu adalah pasien talasemia pertama di dunia, yang mendapat pencangkokan sel darah tali pusar dari donor orang lain (tidak bertalian keluarga).
Kesuksesan terapi ini bukan hanya membuat Joshua bebas dari keharusan menjalani transfusi darah, ia pun tak perlu lagi minum obat untuk membersihkan zat besi yang menumpuk akibat transfusi.

Lebih 45 Penyakit

* “Darah tali pusar sangat unik karena merupakan salah satu sumber terkaya dari sel induk dalam tubuh. Menyimpan darah tali pusar yang diambil sesaat setelah bayi lahir, sama seperti asuransi biologis,” kata Dr. Freddy Teo, ahli penyakit darah di Singapura.

Investasi darah tersebut kelak dapat digunakan bila pemiliknya mengalami penyakit berat. Bahkan, saudara dan keluarganya maupun orang lain yang tidak bertalian darah bisa memanfaatkannya.
Untuk terapi berbagai gangguan genetik yang berdampak buruk pada darah dan sistem imun tubuh, sebelumnya kita telah mengenal pencangkokan (transplantasi) sel induk dari sumsum tulang belakang dan darah tepi. Sel induk darah (haematopoetic stem cell) memiliki kemampuan melakukan regenerasi dan membuat berbagai jenis sel darah dari sistem kekebalan tubuh. Berkat kemajuan teknologi, sel darah dapat diubah menjadi sel darah merah, sel darah putih, keping darah, sel hati, dan lainnya.

Sebetulnya ada dua macam sumber sel induk, yaitu sel induk dewasa (meliputi sumsum tulang belakang, darah tepi, dan darah tali pusar) serta embrio (embryonic stem cell). Sumber embrio ini tidak menjadi perhatian karena masih kontroversial dan tidak etis (karena menyangkut kehidupan makhluk baru)
Pencangkokan sel induk diperlukan jika sumsum tulang sebagai pabrik pembuat sel darah terganggu. Gangguan bisa disebabkan penyakit atau pengobatan dengan ke moterapi maupun radioterapi. Pencangkokan sel induk itu dimaksudkan untuk mengisi sel-sel darah yang hilang atau rusak, karena berbagai sebab.

Belakangan sejumlah penelitian berhasil mengungkap keunggulan sel darah tali pusar. Eksperimen itu sudah dimulai sejak tahun 1963. Dan tahun 1988 untuk pertama kalinya dilakukan pencangkokan sel induk darah tali pusar atau umbilical cord blood (UCB), pada penderita anemia fanconi, dari donor yang bertalian keluarga, di Prancis.

Pencangkokan sel induk darah tali pusar dari diri sendiri dilakukan untuk pertama kalinya tahun 2001. Sampal hari ini sudah lebih 3.000 kasus pencangkokan sel induk dari darah tali pusar yang dilakukan dan berhasil.

The National Marrow Donor Programme mencatat, saat ini sudah lebih dari 45 penyakit yang bisa diobati dengan sel induk dari darah tali pusar. "Kebanyakan penyakit darah, daya tahan tubuh, dan keganasan. Di masa depan, sel induk ini diyakini dapat digunakan untuk mengobati penyakit kencing manis (diabetes), stroke, penyakit jantung, penyakit ginjal, Alzheimer, Parkinson, juga lupus.

Sumber Terkaya

* Di samping merupakan sumber terkaya sel induk, darah tali pusar memiliki banyak kelebihan dibanding sumber sel induk dewasa lain, seperti sumsum tulang.
Pada sumsum tulang diperlukan kecocokan hingga 100 persen antara donor dan penerima, untuk dapat dicangkokkan.
"Kalau darah tali pusar tidak harus 100 persen,” tutur Dr. Frans Ferdinansyah, konsultan penyimpanan darah tali pusar.

Kesesuaian yang tidak mutlak 100 persen itu memungkinkan tersedianya donor yang cocok secara lebih cepat. Dengan demikian, memberikan harapan hidup yang lebih pasti bagi penerima.
Cara pengambilan darah tali pusar juga aman dan tidak menimbulkan rasa sakit, seperti halnya pengambilan sumsum tulang. Penggunaannya pada penerima juga relatif tidak rumit, karena sama seperti proses transfusi darah pada umumnya.

Sel induk darah tali pusar juga cukup menjanjikan dalam terapi generik pada berbagai penyakit keturunan, terutama yang menyangkut sistem kekebalan tubuh. Hal ini telah dibuktikan oleh Dr. Donald Khan dari Children’s Hospital, Universitas California di Los Angeles, AS, yang melakukan terapi genetik pertama dari sel induk darah tali pusar pada tiga anak yang menderita defisiensi adenosine deaminase (ADA), penyakit yang menyerang kekebalan tubuh. Ketiga anak yang juga mendapat pengobatan lain itu hidup sehat, sampai saat ini.

Dr. Patrick Tan, dokter ahli penyakit darah yang sudah lebih 20 tahun bergelut di bidang pencangkokan sel induk, menyatakan bahwa terapi sel induk merupakan alternatif bila tidak berhasil dengan cara konvensional seperti kemoterapi dan radioterapi.

Talasemia mayor, leukemia limpatik kronis, dan myeloma ganda yang dianggap tak dapat disembuhkan, nyatanya dengan pencangkokan sel induk menunjukkan kemajuan hingga 90 persen.

Kecanggihan terapi cangkok sel induk itu juga telah menyelamatkan hidup Tjen Tjoe Nyan (59). Sebelum tahun 2003, pria asal Sukabumi ini tak pernah sakit serius. Ayah dua anak ini memang rajin joging, bersepeda dan angkat beban.

Suatu kali, waktu mengangkat barbel kira-kira seberat 50 kg dalam posisi membungkuk lalu berdiri, punggungnya terasa sakit. Segera beban berat itu ia lepaskan. Tjen merasa tulangnya rontok. Ia pun tak mampu berdiri. Untuk duduk dan berbaring pun punggungnya terasa sakit.

Sang istri segera membawanya ke dokter. Setelah dilakukan sinar X diketahui tulang punggung bawahnya remuk. Setelah diteliti lebih lanjut, dokter menyatakan itu karena tumor pada sumsum tulang belakangnya.
Sontak hati Tjen dan istri remuk redam. Dokter di Sukabumi tak mampu berbuat apa-apa. Dibawalah Tjen ke Jakarta. Di sana pun, dokter tak bisa berbuat banyak. Demi meraih kesembuhan, sang istri (tak mau disebut namanya) membawanya ke Singapura.

Di sanalah Tjen ditawari terapi pencangkokan sel induk dan sumsum tulang. Prosesnya agak panjang karena para ahli harus mencari donor sumsum tulang yang cocok. Sebulan Tjen mesti bolak balik ke negeri jiran itu.

Akhirnya operasi pencangkokan sel induk itu berjalan lancar dan berhasil. Sekarang, Tjen sudah bisa berjalan seperti dulu. Meski tidak boleh melakukan aktivitas berat, Tjen yang juga atlet sepeda ini boleh berlatih lagi.

Terhambat Biaya

* Di Indonesia, teknologi transplantasi sumsum tulang (bone marrow transplant) bukan barang baru.
Menurut Prof. Dr. Karmel L Tambunan, Sp.PD-KHOM, onkologis dari FKUI-RSCM, beberapa dokter di sini pernah melakukannya di tahun 1989. “Kita berhasil menyelesaikan tiga kasus leukemia kronik dan akut,” ujar Prof. Karmel.

Sampai sekarang, kedua pasien itu masih hidup dan satu lagi meninggal karena ada penyakit lain. Sayang teknologl ini kemudian mandek karena biaya pengembangannya sangat mahal. “Waktu itu, untuk operasi saja butuh uang sekitar 400 juta rupiah. Kalau sekarang tentu lebih banyak.” ucapnya.

Tiga kasus leukemia itu bisa diatasi karena ada donatur. Pemerintah sempat memberikan dana untuk kursus di Prancis bagi tim yang hendak menjalankan operasi ini. Namun, biaya operasi mesti diusahakan oleh para dokter sendiri. Sementara pasien dibebaskan dari biaya operasi dan pengobatan.

Langkah yang ditempuh memang hendak membuktikan kalau para dokter Indonesia bisa melakukan teknologi yang tergolong baru pada waktu itu. “Sekaligus untuk pengalaman kami.” papar Prof. Karmel. Alat-alat yang dulu pernah digunakan, sekarang disimpan untuk keperluan lain, salah satunya untuk induksi leukemia.

Dari segi ilmu, dokter Indonesia sebenarnya menguasainya. “Kita punya Prof. Arry Haryanto Reksodiputro dan koleganya, termasuk saya. Baik soal bone marrrow transplant maupun transplantasi sel induk lain. Namun, tanpa peralatan yang sangat modern, kita nggak bisa apa-apa," katanya.

Tentang penyimpanan sel induk, dengan rendah hati Prof. Karmel mengakui bahwa alat itu belum dimiliki RSCM maupun rumah sakit lain di Indonesia.

“Lagi-lagi soal biaya. Alat yang bentuknya mirip kaleng kerupuk besar itu ‘kan mesti setiap hari dicek dan diawasi, dan itu butuh ahli. Tidak banyak ahli yang kita punya dalam hal ini,” ungkapnya.
Sel induk, menurut Prof. Karmel, mesti disimpan dengan suhu minus 180 derajat Celsius dengan bahan nitrogen cair. Ini tidaklah murah.

“Mungkin pemikiran untuk mengajak kerjasama dengan swasta baik juga karena teknologi ini cukup baik untuk mengatasi berbagai persoalan berat seperti myeloma, leukemia, talasemia, bahkan diabetes,” ujarnya.

Sumber: Kompas
Sumber : http://www.hompedin.org/

Tidak ada komentar: